Saat
ini, Kasus Sengketa Kerjasama Asset untuk Agunan/Jaminan Kredit Perbankan , semakin sering terjadi. Hal ini
karena para pihak yang terlibat, Perusahaan (pemilik pekerjaan/proyek) , Mitra
Penjamin/Avalist (biasanya pemilik asset untuk diagunkan), bahkan pihak Perbankan sebagai kreditur pun kurang
memahami aspek-aspek legal/hukum yang berlaku dan kurang berhati-hati.
Berikut
ini saya akan ceritakan sebuah kasus yang kita bisa ambil pelajaran
daripadanya.
Awalnya ketika Bank XXX memberikan pinjaman/kredit
dalam jangka waktu 12 bulan kepada Debitur yaitu PT. A, yang diwakili
oleh Direktur Utama : Tn. H, dan Komisaris Utama Ny. S. Pinjaman/Kredit yang
diberikan Bank XXX kepada PT. A
tersebut di atas, selanjutnya mendapat jaminan dari Tn. F dan Ny. K (suami-istri) sebagai penjamin (avalist) dengan
membuat Surat Pernyataan Penyerahan
Tanah/ Melepaskan Hak atas assetnya. Ingatlah tulisan saya sebelumnya DISINI.
Dalam perkembangan selanjutnya pinjaman/kredit
ini menjadi kredit macet. Pihak Debitur : PT. A dengan : Tn. H (Direktur
Utama) dan Ny. S (Komisaris Utama) tidak mampu membayar kembali Kredit tersebut
kepada kreditur, Bank XXX pada hari jatuh
temponya.
Setelah diperingatkan
sampai tiga kali, belum juga membayar lunas hutangnya tersebut diatas, maka pihak
kreditur : Bank XXX sebagai Penggugat mengajukan gugatan perdata di Pengadilan
Negeri terhadap Debitur dan “Pinjaman hutang” yaitu :
- PT. A sebagai Tergugat I.
- Tn. H, untuk diri sendiri dan sebagai Direktur Utama PT. A sebagai Tergugat II.
- Ny. S, bertindak untuk diri sendiri dan sebagai Komisaris Utama PT. A sebagai Tergugat III.
- Tn. F dan Ny. K (suami-istri) sebagai Tergugat IV.
Di Pengadilan Negeri;
Terungkap bahwa PT. A (tergugat
I) sejak didirikan sampai dengan diberikan kredit ternyata belum disyahkan sebagai
badan hukum oleh Departemen Kehakiman RI.
Tergugat IV (penjamin) mengajukan
gugatan Rekonpensi (gugatan
balasan dari penggugat terhadap tergugat), yang menuntut
agar Pengadilan Negeri memutuskan a.l:
- bahwa PT. A, bukan sebagai badan hukum
- bahwa penjamin tidak bertanggung jawab atas pelunasan hutang/kredit yang diterima oleh PT. A.
- bahwa penyerahan tanah sebagai jaminan atas pelunasan kredit tidak mempunyai kekuatan hukum
- menghukum Bank XXX menyerahkan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah, kepada Penjamin.
Majelis Hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa:
- Bahwa PT. A, sejak didirikan sampai dengan peminjaman kredit di Bank XXX masih belum merupakan Badan Hukum, karena belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman RI
- Terbukti bahwa Tergugat II dan tergugat III menerima pinjaman uang dari penggugat yang tidak dilunasi oleh tergugat II dan Tergugat III, hal ini merupakan perbuatan “Perbuatan Cidera Janji” (wanprestasi)
- Ternyata Tergugat IV memberikan jaminan untuk Tergugat I (PT. A) yang saat itu belum merupakan Badan Hukum
Berdasarkan pertimbangan tersebut
di atas, Majelis Hakim Pengadilan Negeri memberi putusan yang pada pokoknya sebagai
berikut: Perbuatan Tergugat II dan III
yang tidak membayar lunas hutangnya kepada penggugat adalah “Perbuatan Cidera Janji”(wanprestasi).
Dalam Rekonpensi (gugatan
balik/balasan dari penggugat terhadap tergugat):
- Menyatakan Tergugat I Konpensi (PT. A) bukan sebagai Badan Hukum
- Menyatakan Penggugat Rekonpensi (Penjamin) tidak turut bertanggung jawab atas pelunasan kredit.
- Menyatakan penyerahan tanah sebagai jaminan pelunasan kredit/hutang tidak mempunyai kekuatan hukum
- Menghukum Tergugat (Rekonpensi Bank XXX) menyerahkan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah.
Di Pengadilan
Tinggi;
- Dengan Pertimbangan hukum bahwa karena Tergugat II dan Tergugat III mengakui adanya pinjaman dimana Tergugat IV mengakui juga sebagai Penjamin (Avalist), maka Tergugat IV tetap bertanggung jawab sampai pinjaman dilunasi oleh Tergugat II dan Tergugat III.
- Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa Tergugat IV (penjamin) juga telah melakukan wanprestasi.
- Membatalkan Putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri yang menyatakan penyerahan tanah sebagai jaminan hutang/kredit tidak mempunyai kekuatan hukum.
Di
Mahkamah Agung;
Saat Kasasi, Mahkamah Agung memutuskan
pada pokoknya adalah sebagai berikut:
- Menghukum Tergugat II dan Tergugat III membayar hutangnya kepada Bank XXX
- Menyatakan Tergugat I (PT. A) bukan sebagai Badan Hukum, karena belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman RI
- Menyatakan Hutang/kredit dimaksud bukan hutang/kredit Tergugat I (PT. A)
- Menyatakan Tergugat IV (Penjamin) Tidak turut bertanggung jawab terhadap pelunasan hutang/kredit dimaksud.
- Menyatakan Penyerahan Tanah dan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah oleh Tergugat IV(penjamin) terhadap pelunasan hutang/kreditTergugat I (PT. A) tidak mempunyai kekuatan hukum
Pelajaran dari sisi Hukum yang setidaknya dapat kita tarik dalam perkara ini,
pihak Bank XXX selaku kreditur memberikan
pinjaman kredit kepada badan hukum perseroan “Perseroan Terbatas”/ PT. A.
Dalam perjanjian pinjaman kredit
tindakan ini diwakili oleh Direktur Utama dan Komisarisnya (Tergugat II dan
III). Terhadap Pinjaman Kredit tersebut Pihak Tergugat II dan III memberikan
jaminan tanah milik Pihak Ketiga (dalam perkara ini selakuTergugat IV) sebagai “Penjamin”
(Avalist).
Karena PT. A selaku
Debitur tidak membayar lunas hutangnya tersebut (cidera- janji), maka
tanggungjawab membayar hutang tersebut, ada pada Direktur Utama dan
Komisarisnya secara pribadi (personal responsibility) dan bukan menjadi
tanggungjawab hukum dari PT. A selaku Badan Hukum, karena Fakta Hukum
yang terjadi “Perseroan Terbatas” (PT. A) tersebut, sejak didirikan sampai
diterimanya pinjaman dari Bank, ternyata masih belum memperoleh pengesahan dari
Departemen, Kehakiman dan HAM sebagai suatu Badan Hukum.
Sedikit analisa perkara ini, majelis
Hakim Tingkat Pertama dan Terakhir pada hakikatnya telah memberikan
pertimbangan hukum yang baik berdasarkan hukum Perseroan Terbatas (PT) memiliki
dua sisi, yaitu pertama sebagai suatu
badan hukum dan kedua pada sisi yang
lain adalah wadah atau tempat diwujudkannya kerja sama antara para pemegang
saham atau pemilik modal.
Penjaminan (avalist) yang dilakukan
oleh Pihak ketiga (Tergugat IV) dari Suatu Utang (antara Kreditur dan Debitur),
beberapa ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, mengatur unsur-unsur formal
yang melekat pada perjanjian pemberian jaminan ialah bahwa penjamin menjamin
dipenuhinya perikatan pihak ketiga. Isi perjanjian itu sendiri bisa beraneka
ragam. Namun esensi perjanjian pemberian jaminan itu adalah bentuknya, yakni
suatu kewajiban accessoir bagi pemenuhan suatu perikatan pihak lain yang timbul
dari perjanjian lain.
Perjanjian pemberian jaminan dapat
disebut sebagai perjanjian accessoir karena perjanjian itu tidak mungkin
berdiri sendiri. Keberadaannya bergantung pada suatu perjanjian pokok, karena
pada prinsipnya tiada suatu perjanjian jaminan tanpa suatu perjanjian pokok.
Ketentuan terhadap lepasnya tanggungjawab
Pihak Penjamin seiring dengan dengan KUHPerdata berbicara perihal pemenuhan
perikatan dan tidak berbicara perihal pemenuhan tanggung jawab. Dengan demikian
isi prestasi seorang Penjamin adalah sama dengan isi prestasi yang harus
dipenuhi oleh Debitur.
Secara yuridis kontruksinya adalah
sebagai berikut : apabila si Penjamin memenuhi prestasinya Sesuai isi perjanjian
pemberian jaminan, maka pada saat bersamaan ia memenuhi juga prestasi (membayar
hutang) orang yang dijamin. Kontruksi sedemikian ini hanya dimungkinkan,
apabila isi prestasi dari kedua perjanjian itu sama.
Dalam praktek, sifat accessoir
dari suatu perjanjian pemberian jaminan telah kehilangan artinya. Hal ini
disebabkan karena dalam hampir semua perjanjian pemberian jaminan Penjamin mengesampingkan
haknya agar kreditur menuntut pembayaran terlebih dahulu dari debitur.
KUHPerdata menyatakan bahwa
Penjamin tidak wajib membayar kepada Kreditur kecuali jika
Debitur lalai membayar hutangnya;
dalam hal itupun barang kepunyaan Debitur harus disita dan dijual terlebih
dahulu untuk melunasi hutangnya
Selanjutnya Penjamin (Avalist)
tidak dapat dituntut untuk melaksanakan kewajiban hukum sebagai “Penjamin/Avalist”
membayar hutang PT. A yang belum berstatus
sebagai Badan Hukum tersebut, disamping
tidak memenuhi kewajiban pembayaran hutang (pemenuhan perikatan).
Maka sesuai dengan UUPT Pemegang
Saham dan Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala
perbuatan hukum termasuk hutang terhadap Bank
XXX yang dilakukan perseroan.
mantap bos blognya, cuma satu kata LANJUTKEN
ReplyDeleteMakasih Mas, Makasih dah mampir..
Deletekoq gak transparan gini, padahal isinya bagus, mau saya jadiin contoh kasus buat tugas kuliah, tapi gak transparan, ya udah, jadi gak berguna deh berita bagusnya.
ReplyDeleteMenurut saya sdah cukup transparan mas, obyek posting saya memang dari kasusnya itu sendiri, bukan dari siapa saja pihak-pihak yang terlibat. Meskipun demikian, terimakasih masukannya ya...:)
DeleteMas, boleh saya tau, sikap bank xxx bagaimana selain mengajukan kasus tersebut ke pengadilan? Terimakasih :)
Deletewow...briliant sob.SALUUUT deh.pastas jd tim ahli di kmentrian
ReplyDeleteArtikel yang bagus , menarik dan tentunya mendidik. Bahwa keputusan dari PN dan Mahkamah Agung jelas sesuai dengan logika hukum , yang mengherankan adalah pendekatan dan keputusan dari Pengadilan Tinggi yang mengenyampingkan Subyek Hukum terdakwa satu yang notabene adalah tidak eksis sementara yang dijamin oleh penjamin adalah kemampuan bayar terdakwa I , bahwa dengan sendirinya penjaminan adalah batal demi hukum , bukan ?
ReplyDeleteHal yang ingin saya tanyakan ,
Bagaimana mungkin sebuah bank bisa kecolongan dan tidak memeriksa legalitas badan hukum yang terkait ? atau ada unsur penipuan atau penggelapan fakta oleh pihak-pihak dibelakang debitur ?
Apakah kemudian apabila memang diyakini ada usaha penipuan/penggelapan data oleh debitur , maka bisa menjadi ranah hukum Pidana ?
Apakah bila diketahui bahwa pihak penjamin (tergugat IV) diketahui memperoleh/mendapatakan manfaat atau keuntungan dari perjanjian/kredit yang diberikan bisa merubah alur putusan ? atau tetap lepas dari pertanggungjawaban perdata ? mengingat upaya tersebut sudah masuk ranah pidana ?
Terima kasih sebelumnya , dan maaf bila banyak tanya semoga tidak keberatan menjawabnya , maklum sudah lama lewat masa kuliah dan berkecimpung di bidang yang tidak terkait menghasilkan "amnesia hukum" hehe.
regards,
e
kasus diatas jadi pembelajaran bagi saya, dan malam ini jadi bahan masukan buat aku. trims mas salut dengan blognya, banyak masukan pengetahuan yang saya dapatkan
ReplyDelete-widie-
nice share......
ReplyDeletekunjung balik
http://jayawardhanalaw.blogspot.com
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHalo, nama saya Setiabudi, saya telah ditipu 8 Juta karena aku butuh modal besar dari 40 Juta, bisnis saya hancur sampai saya bertemu dengan seorang teman yang memperkenalkan saya dan suami saya ke Mrs Alexandra yang akhirnya membantu kami mendapatkan pinjaman dalam dirinya perusahaan, jika Anda membutuhkan pinjaman dan kontak pinjaman dijamin ibu yang baik Alexandra melalui email perusahaan.
ReplyDeletealexandraestherloanltdd@gmail.com
atau alexandraestherfastservice@cash4u.com,
Anda dapat menghubungi saya melalui email ini; setiabudialmed@gmail.com informasi atau saran yang perlu Anda ketahui.
Harap bijaksana.
artikelnya sangat bermanfaat gan..sangat membantu kuliah saya........... .
ReplyDeleteArtikel yg bagus, kalau boleh tanya saya punya masalah, tanah saya di lelang oleh bank BPR di Tangerang, dengan menggunakan pasal 6 hak tanggungan, pertanyaan saya apakah sah secara hukum karena pasal tersebut belum disahkan masih meminjam. Mhn pencerahan karena rumah saya dilelang dan sisa lelang juga tidak dikembalikan dan mhn bantuan. Tks
ReplyDeleteUntuk komunikasi di 085312131919 dg muchtar don atau email. mdon.biz@gmail.com
ReplyDelete